Senin, 22 Februari 2021 16:29
WIB
ilustrasi. sumber: /www.ceritakisah.web.id
Oleh: Jon Afrizal*
Hutan dan hutang. Hubungan "aneh" di masa lalu yang juga berakibat "aneh" pada saat ini. Sebentar, mari kita surfing di mesin pencari internet (eh, yang sekarang di genggaman anda adalah smartphone. So, be smarter than the phone) tentang jejak hutang di Jambi.
Skema internasional untuk "mendapatkan" hasil bumi di Jambi --bukan keahlianku jika bicara Indonesia-- adalah dengan memberikan begitu banyak hak untuk menguasai hutan pada era Orde Baru, bagi siapapun yang berminat.
Tentunya, berskala besar, sangat luas dan, ehm, massif, begitu istilah para aktivis. Skema pemberian hutang dari dunia internasional untuk Indonesia telah mengubah tata cara berkehidupan masyarakat yang semula bergantung sepenuhnya pada hasil hutan. Istilah bapak-bapak berseragam yang bertugas di Dinas Kehutanan adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Masyarakat dipaksa untuk berprofesi sebagai "pebalok". Ini tentu, seperti yang sebelumnya pernah saya singgung, sangat jauh dari akar budaya masyarakat Melayu Jambi.
Contoh paling gila adalah masyarakat yang kini berada di sekitar Hutan Harapan, baik itu Suku Melayu maupun indigenous people Batin Sembilan. Mereka tidak punya keahlian apapun, selain menebang kayu.
Jadi adalah wajar jika hingga saat ini Hutan Harapan yang adalah pilot project restorasi ekosistem pertama di Indonesia, selalu berhubungan dengan konflik tenurial dan pebalakan (liar).
Hasil cemerlang dari itu semua, adalah, perkebunan monokultur yang menjadi idola pemerintah daerah: sawit. Hutan yang ditebangi telah mengubah diri menjadi hamparan kosong.
"Lahan yang kosong harus kita manfaatkan," kata seorang pejabat lokal. Lanjutannya, adalah pemberian izin perkebunan skala luas.
Masyarakat juga tergiur, adalah wajar jika seseorang ingin hidup berkecukupan. Sebab, pertanian hingga saat ini belum menjadi sektor yang dapat diandalkan untuk mensekolahkan anak keturunan secara berkelanjutan.
Tidak ada, ini adalah realita di Jambi, petani yang mendapatkan harga yang layak untuk hasil pertanian yang mereka produksi. Pun tidak di dingginnya hawa Kajoe Aro.
Maka, masyarakat pun beramai-ramai pula berkebun sawit. Itu wajar sekali. Mereka "nebeng" ke perkebunan skala besar.
Yup, "nebeng". Awalnya, tentu saja, "kita usahakan agar warga dapat bertanam sawit di sekitar areal perkebunan kami," kata seorang juru bicara sebuah perkebunan sawit. Tetapi, selanjutnya, terjadi jual-beli lahan dari masyarakat ke perusahaan.
Kita tidak sedang bicara "data" di atas kertas. Buka mata anda lebar-lebar dan berkunjunglah ke daerah pelosok tempat kawasan perkebunan berada. Lihat denga cermat.
Itu juga belum cukup. Lihatlah, berapa luasan perkebunan sawit dan bandingkan dengan jumlah pabrik pengolahannya. Intinya, masyarakat tetap bergantung ke perusahaan. Tidak ada kata mandiri di sini. Yang ada, adalah, komunal yang tercerabut dari akarnya.
Menyedihkan? Selalu kalimat itu yang terucap, tanpa aksi ke arah perbaikan. Namun, kita hingga saat ini tetap belum bisa menentukan harga yang pantas untuk tandan buah segar (tbs) yang kita hasilkan.
Pasar Eropa lah yang menentukan itu semua. Jadi adalah aneh bin ajaib jika ada "orang berkulit sawo matang dan kuning langsat" yang berkata dapat mengubah harga sawit lebih mahal dari sebelumnya.
Pun begitu dengan komoditi karet. Yang selalu kita lakukan, adalah, menanam tanpa tau harus menjual kemana. Jika pun ada pasar tempat berjualan, tentunya ke luar negeri, kita tidak pernah bisa menjual sesuai dengan harga yang kita inginkan.
"Mekanisme pasar". Begitu banyak pihak bicara. Atau istilah terkini adalah "industri hulu-hilir". Atau apa pun lah istilah yang diberikan, tetap tidak tercapai kata yang disebut Bapak Bangsa, Sukarno, sebagai Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari).
Yang justru tercipta adalah persoalan demi persoalan yang menguras banyak tenaga dan pikiran bagi pihak yang peduli, dan reportase tak berkesudahan.
Tidakkah kita berpikir untuk membuat rakyat hidup lebih baik sesuai keaslian mereka? Maksudku, jika sebuah komunal telah bergantung dari hasil hutan non kayu sejak berabad-abad lalu, tentu tidak ada alasan untuk memaksanya berkebun.
Sesat berpikir, begitu beberapa kalangan berpendapat. "Tetapi, apa solusinya?" Kenapa setiap orang di provinsi ini harus kembali bertanya terkait pertanyaan yang saya ajukan? Tidakah kita berpikir tentang tugas yang diemban oleh masing-masing pihak?
Jurnalis hanya memaparkan secara jujur realita yang terjadi agar publik mengetahuinya. Tugas penyelesaian masalah adalah spesialiasi pihak lain. Meminta seorang jurnalis untuk menyelesaikan masalah sama artinya dengan mengangkatnya menjadi pemangku kebijakan. Yang tentu, ehm, gajinya berasal dari pajak dan retribusi yang dibayarkan rakyat Jambi secara berkala.
Tetapi, jika boleh saya mengusulkan, kembalikan masyarakat ke budaya aslinya. Sebelum kita semua terlalu jauh melangkah, lengkap dengan segala konsekuensinya.
*Jurnalis TheJakartaPost dan anggota Majelis Etik (ME) AJI Kota Jambi
Rabu, 03 Maret 2021 08:25
WIB Diduga Disunat, Dewan Pertanyakan Setoran Retribusi Terminal MuarabulianKajanglako.com, Batanghari - Uang setoran retribusi Terminal Muarabulian diduga disunat. Hal ini diungkapkan Anggota DPRD Kabupaten Batanghari. Menurut |
Selasa, 02 Maret 2021 21:31
WIB Bahas Honorer Nonkategori, DPRD Merangin Panggil Diknas dan BKDKajanglako.com, Merangin - Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merangin hearing dengan Dinas Pendidikan Kebudayaan dan BKPSDM Merangin, |
Perspektif Jokowi dan Anies BaswedanOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Mungkin ada banyak perbedaan antara keduanya. Gaya bicaranya, blusukannya, taktik melobinya, politik identitasnya dan |
Perspektif Ada Yang Membusuk dalam Darah di Tubuh KitaOleh: Riwanto Tirtosudarmo* Mungkin di tubuh saya dan sebagian dari kita sudah ada virus covid-19, tetapi tidak ada gejala yang tampak dari luar. Kita |
Sejarah Jambi Walter M GibsonOleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda) Dalam rangka menyiapkan tulisan untuk rubrik ‘Telusur Jambi,’ saya teringat pada satu tas |
Senin, 22 Februari 2021 16:29
WIB
Rabu, 10 Februari 2021 13:23
WIB
Sabtu, 30 Januari 2021 04:42
WIB
Selasa, 19 Januari 2021 10:08
WIB
Minggu, 10 Januari 2021 11:04
WIB
Jumat, 29 Januari 2021 09:03
WIB
Makin Nyaman Antar Paket, IDexpress Kenalkan Gerai Ekspedisi Terbaik Untuk Warga Jambi |
Kamis, 21 Januari 2021 17:50
WIB
Di Paripurna DPRD, Gubernur Fachrori Umar Pamit dari Jabatan Gubernur |
Kamis, 11 Juni 2020 11:33
WIB
70 Persen Kebutuhan Ikan di Merangin Dipasok dari Luar |
Sabtu, 07 Maret 2020 04:39
WIB
Polemik Pagar Seng PT EBN vs Pedagang BJ Dikonfrontir di Meja Hijau DPRD |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.