Reporter :
Kategori :
Telusur
Oleh: Frieda Amran (Antropolog. Mukim di Belanda)
Di ibukota berbagai daerah di Sumatra yang sudah dikuasai Belanda, pembagian waktu sudah berjalan sesuai dengan konsep Belanda/Eropa tentang waktu. Akan tetapi, di daerah-daerah yang masih berada di luar jangkauan Belanda, penduduknya masih menggunakan pembagian waktu sesuai dengan perputaran kehidupannya sehari-hari, atau ditambah dengan konse waktu dari Arab.
Istilah-istilah yang digunakan untuk waktu berbeda-beda sesuai dengan tempat istilah itu digunakan. Bila waktu di Eropa membagi 24 jam sehari dan semalam ke dalam jam-jam dengan angka-angka yang berurutan dari jam satu (yang pertama) sampai dua puluh empat, di nusantara, pagi, siang dan malam dibagi ke dalam waktu-waktu melakukan kegiatan tertentu atau terjadinya sesuatu dalam alam atau lingkungan.
Sebagai contoh, van Hasselt mencatat pembagian waktu sesuai yang diungkapkan oleh masyarakat di daerah XII Koto dan sebagian daerah Bengkulu.
Jam |
XII Koto |
Bengkulu |
05.00 |
subu-subu |
sinam gantih |
05.30 |
badarang hari atau turun ayam |
Baranjang siang |
06.00 |
Mentari tabi |
Terjun ayam atau matahari metu |
07.00 |
Sa panggalah |
Ngarapkan papagian |
08.00 |
Tarampai jamoe |
Pengamparan jemur |
09.00 |
Tangah naik |
Pagian pendek |
09.30 |
Lape bajak |
|
10.00 |
|
Pagian panjang |
11.00 |
Manjalang tangah hari |
Ngarap tengah hari |
12.00 |
Tangah hari atau Lambe mantari (saat matahari lamban bergerak) |
Tengah hari |
13.00 |
Tagelek tangah hari |
Lingsir tengah hari |
14.00 |
|
Ngarap pengangkatan jemur |
15.00 |
Tangah turun |
Pengangkatan jemur |
15.30 – 16.00 |
|
Penanakan agung |
17.00 |
Patang hari |
Sejunjang mayang |
18.00 |
sanjo |
Penaikan ayam |
18.00 – 19.00 |
|
Pemarakan damar atau sangkup malam |
19.00 |
Lalok paja |
|
19.00 – 20.00 |
|
Sekelap budak |
21.00 |
Sanjo gadang |
|
21.00 – 22.00 |
|
Sekelap tua |
23.00 |
Manjalang tangah malam |
Ngarap tangah malam |
24.00 |
Tangah malam |
Tengah malam |
01.00 |
|
Limpas tengah malam |
02.00 |
|
Ngarap parak siang |
03.00 |
|
Kukuk ayam sekali |
04.00 |
Manjalang parak siang atau bakukuk ayam sakali |
|
04.30 |
Babuni ungko di rimbo |
Kukuk ayam derasi |
Untuk menggambarkan panjang (durasi) waktu yang diperlukan untuk sesuatu, orang Eropa biasanya mengatakan ‘setengah jam’, ‘dua jam’ dan sebagainya; orang Melayu menggunakan ukuran waktu lamanya melakukan sesuatu, misalnya ‘sakali pitanak’. Atau ‘duwo-tigo kali pitanak’. ‘Tigo kali pitanak’ kira-kira memerlukan waktu setengah jam. Orang Lebong dan orang Kubu tidak mengenal nama hari atau pun nama bulan. Mereka biasanya hanya mengatakan “hari pertama (kedua atau ketiga) bulan”.
Selain ulama, tak banyak orang yang dapat menulis atau pun membaca. Namun, menurut van Hasselt, jumlah itu meningkat oleh diberikannya pendidikan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan Belanda. (catatan FA: walaupun demikian, tidak dijelaskan olehnya berapa banyak sekolah Belanda yang memang sudah didirikan dan siapa saja yang boleh belajar di sekolah-sekolah itu). Di bagian selatan Dataran Tinggi Padang, bahkan sebagian besar kepala adat tidak dapat membaca atau menulis. Hal yang sama berlaku di Limoen, Rawas dan Lebong (walau di kedua daerah terakhir, banyak lelaki maupun perempuan menguasai aksara rentjoeng.
Walaupun sebagian besar buta aksara, namun orang Melayu memiliki pengetahuan luas mengenai flora dan fauna yang ada di lingkungannya. Pengetahuan ini tentunya diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pangan, sandang dan papan (atau makanan, pakaian dan perumahan). Para ahli ilmu hewan di dalam tim penjelajahan terheran-heran melihat banyaknya pengetahuan orang-orang Melayu yang ikut penjelajahan. Di antara ribuan serangga yang dikumpulkan untuk koleksi penjelajahan, hanya beberapa saja yang tak dikenal oleh orang-orang Melayu itu. Mereka juga mengetahui (dan dapat menunjukkan) perbedaan di antara tanaman yang ‘djantan’ dan ‘batino’. Tanaman ‘batino’lah yang menghasilkan buah. Mereka mengenal nama ratusan pepohonan. Sepotong kulit kayu atau selembar daun saja sudah cukup bagi mereka untuk mengenali pohon asal kulit kayu atau daun itu.
Tak mengherankan bahwa pengetahuan itu memudahkan tugas tim penjelajahan untuk mencatat nama dan kegunaan masing-masing pohon itu. Namun demikian, mereka tetap harus melakukan ‘check and re-check’ karena orang Melayu yang mendampingi mereka merasa selalu harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Dalam perjalanan di hutan, bila ditanya nama sebatang pohon, terkadang mereka menjawab sekenanya: “Iko kayu rimbo, Tuan!” Lalu, nama ‘kayu rimbo’ dicatat dengan seksama. Sesampai di rumah tempat menginap barulah diketahui bahwa ‘kayu rimbo’ sebetulnya hanya berarti ‘pohon hutan’.
Jelas, orang Melayu memiliki selera dan rasa keindahan. Ini terbukti antara lain dari pola-pola tenunnya, bentuk rumah, pakaian dan perlengkapan berpakaian, serta ukiran-ukiran kayu, aneka logam, tanduk dan gading. Dengan demikian, van Hasselt dan anggota-anggota tim penjelajahan acapkali terheran-heran karena mereka seringkali tidak dapat mengenali barang-barang atau objek yang difoto oleh DD Veth atau dilukis. Hal ini lebih mengherankan lagi karena mereka sendiri mengenal dan memiliki kemampuan dan kebiasaan menggambar. Di dinding-dinding rumah atau lumbung, seringkali tampak gambar-gambar binatang, manusia atau pohon. Gambar-gambar itu dibuat menggunakan kapur.
Van Hasselt sendiri acap mempertanyakan apakah orang Melayu menikmati keindahan alam dan terpesona oleh keindahan itu, seperti dirinya sendiri. Selama dua tahun ia berada di tengah-tengah orang Melayu, hanya satu orang saja yang tampak terpesona oleh keindahan alam di sekitar tempat tinggalnya. Ia bertemu dengan orang itu di daerah Batang-Hari, di kapung Poelau Kakaran. Tim penjelajahan itu sedang dalam perjalanan menuju muara Sungai Pota. Ketika matahari mulai tenggelam, mereka memutuskan untuk menginap di dusun itu.
Malam itu sungguh indah. Bulan mencurahkan samudera sinar berwarna perak ke atas puncak-puncak pohon. Sinar itu dipantulkan kembali oleh air sungai yang jernih, memukul-mukul bebatuan curam di tepian. Van Hasselt berjalan-jalan, hilir-mudik, di tepian sungai. Ia menyerap semua keindahan yang terbentang di depan matanya.
Seorang lelaki Melayu tiba-tiba mendekatinya: “Tuan, tidak baik berjalan-jalan sendirian di sini,” katanya. “Banyak harimau di sini.”
Van Hasselt berterima kasih. Karena lelaki itu tidak pergi lagi, mereka berjalan bersama, kembali ke dusun.
“Alami di sini bagus sekali ‘kan?” ujar lelaki tadi dengan penuh perasaan. “Tak ada tempat lain di sepanjang Hari yang lebih bagus daripada tempat ini. Sayangnya, tak banyak orang yang tinggal di sini.”
Lalu, ia menjelaskan mengapa penduduk di daerah itu begitu sedikit jumlahnya. Dalam tulisannya, van Hasselt tidak menguraikan penjelasan lelaki itu.
Setelah beberapa saat berlalu, van Hasselt bertanya: “Kata orang, Radjo Loeboek Oelang-aling seringkali memeras dan berlaku semena-mena. Apakah penduduk di dusun tidak pernah meminta bantuan pemerintah (Hindia-Belanda)?” (maksudnya, untuk mengatasi masalah itu).
“Untuk apa?” lelaki di sampingnya balik bertanya. “Kumpeni tidak akan datang ke sini karena tak ada yang dapat diambil di sini. Untuk kami pun, beras tak cukup di sini!”
Lalu, mereka meneruskan perjalanan tanpa berbicara lagi.
Orang Melayu arif. Barangkali tidak semuanya arif, tetapi beberapa pepatah yang diungkapkan seseorang dan dicatat oleh van Hasselt membuktikan kearifan itu.
“Jiwa manusia itu seperti pisau. Bila orang menggeletakkannya begitu saja dan tidak menggunakannya, maka pisau itu akan berkarat dan lama-lama, tak dapat digunakan lagi. Hanya dengan bekerja, jiwa itu akan berkembang.”
“Jiwa manusia itu seperti angin, yang tidak perlu terlihat, tetapi terasa adanya di mana-mana.”
“Hati manusia adalah raja di tubuhnya. Hati itulah yang berbicara mengenai keadilan dan kebaikan prilaku manusia.”
“Keinginan (manusia) sama dengan aliran air di sungai; ia takkan berhenti selama jiwa masih di kandung badan.”
“Kemauan/keinginan kita lebih besar daripada gunung yang paling tinggi/besar.”
“Segala sesuatu memiliki awal dan akhir.”
“Bahkan punggung pisau pun akan menjadi tajam bila diasah; orang yang paling bodoh pun akan dapat berkembang kalau ia mau belajar.”
“Tubuh manusia itu seperti burung; mata seperti matahari; kaki seperti dayung; tangan seperti pencabut janggut; kata-kata seperti air dan api; telinga (terlihat) seperti pita. Segala-sesuatu ada manfaatnya, tetapi bila dimanfaatkan secara sembrono, semua itu dapat menjadi musuh.”
“Bila kita menanam pohon di tanah lapang, tanpa diberi pagar dan tanpa dijaga, apakah pohon itu akan tumbuh besar dan berbuah? Begitulah pula halnya dengan anak-anak(mu); karena ketika mereka lahir, mereka tak mengenal (yang) buruk atau baik.”
Kesimpulan van Hasselt: walau tak banyak orang Melayu yang mengenyam pendidikan, namun mereka memiliki kearifan yang sangat praktis. Hal ini nyata dalam berbagai hal dalam kehidupan mereka sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan pertanian, kerajinan, perburuan, penangkapan ikan dan sebagainya.
*Pustaka Acuan: Van Hasselt. ‘Volksbeschrijving en Taal,’ dalam Midden-Sumatra: Reizen en Onderzoekingen der Sumatra-Expeditie, 1877-1879 (Prof PJ Veth, ed). Leiden: EJ Brill. 1882.
Tag : #telusur #naskah klasik belanda #ekspedisi sumatra tengah #sejarah jambi
Jumat, 22 Januari 2021 00:10
WIB Lurahnya Terkonfirmasi Covid-19, Kantor Kelurahan ini Ditutup SementaraKajanglako.com, Batanghari - Lurah di kelurahan Sridadi Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari Jambi terkonfirmasi positif covid-19. Pasca kejadian |
Kamis, 21 Januari 2021 19:07
WIB Puluhan Emak-Emak Blokade Jalinsum dan Larang Truk Batu Bara MelintasKajanglako.com, Sarolangun – Sedikitnya puluhan emak-emak Bukit Peranginan Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun, Kamis sore, (21/01), menggelar |
Kamis, 21 Januari 2021 17:50
WIB Di Paripurna DPRD, Gubernur Fachrori Umar Pamit dari Jabatan GubernurKajanglako.com. Jambi - Sesuai Ketentuan amanat pasal 79 ayat 1 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kepala daerah yang berakhir |
Kamis, 21 Januari 2021 16:48
WIB Jual Pupuk Oplosan, Ketua Kelompok Tani ini Ditangkap PolisiKajanglako.com, Merangin - Polres Merangin mengamankan pelaku pengoplos pupuk KCL merek mahkota. Adalah HR warga Pamenang, pria 56 tahun ini diamankan |
Kamis, 21 Januari 2021 11:58
WIB Al Haris Sapa Masyarakat Jambi Melalui Vlog di Instagram Pribadinya, Komentar Netizen Singgung Gugatan di MKKajanglako.com, Jambi - Setelah dua pekan sibuk beraktivitas sebagai Bupati Merangin, Wo Haris -sapaan akrab Al Haris-, akhirnya sempat menyapa masyarakat |
Jumat, 15 Januari 2021 09:57
WIB
Masnah Busro Resmikan Pasar Rakyat Sengeti |
Rabu, 06 Januari 2021 12:40
WIB
Bupati Masnah Hadiri Penyerahan Sertifikat Tanah Secara Simbolis |
Rabu, 23 September 2020 16:31
WIB
Strategi Menyusun Rencana Keuangan Hasil Pinjaman Online |
Kamis, 11 Juni 2020 11:33
WIB
70 Persen Kebutuhan Ikan di Merangin Dipasok dari Luar |
Natal dan Refleksi Keagamaan Jumat, 28 Desember 2018 07:09 WIB Berbagi Kasih Antar Sesama Suku Anak Dalam |
Festival Budaya Bioskop Jumat, 16 November 2018 06:20 WIB Bentuk Museum Bioskop, Tempoa Art Digandeng Institut Kesenian Jakarta |
PT : Media Sinergi Samudra
Alamat Perusahaan : Jl. Barau barau RT 25 Kel. Pakuan Baru, Kec. Jambi Selatan – Jambi
Alamat Kantor Redaksi : Jl. Kayu Manis, Perum Bahari I, No.C-05 Simpang IV Sipin Telanaipura Kota Jambi (36122)
Kontak Kami : 0822 4295 1185
www.kajanglako.com
All rights reserved.